“LUKA HATI SEJAK DINI”
“LUKA HATI SEJAK DINI”
Lussy Tivany Warae
(Mahasiswa Prodi PGSD UNIMUDA Sorong)
Yuni Andini, gadis kecil penuh dengan luka, trauma, dan sekarang sudah beranjak dewasa. Ya, itu adalah aku. Di usia 21 tahun ini, aku masih menyimpan luka yang sedari kecil sulit untuk dilupa. Iyaa, bagiku ini adalah luka. Ini adalah ceritaku, rasa sakitku, pengalamanku, dan kenanganku. Aku tidak memiliki sahabat, aku berjuang sendirian dan benar-benar sendirian.
Aku dilahirkan dari keluarga yang kaya namun tidak bahagia. Setiap harinya aku harus mendengar orangtuaku bertengkar, beradu pendapat, saling menyalahkan, dan melampiaskan amarahnya kepadaku. Aku tidak tahu, apa semua ini karena beban pekerjaan mereka? atau memang aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi dengan mereka?. Aku tidak tahu dengan siapa aku harus bercerita, aku menangis sendiri, aku marah sendiri, aku sakit sendiri. Gadis kecil mana yang tidak membutuhkan kasih sayang? gadis kecil mana yang tidak takut jika setiap hari harus menerima perlakuan kasar? Gadis kecil mana yang sanggup jika setiap harinya selalu mendengar nada kasar, jeritan kesakitan, bahkan suara pecahan gelas.
Berseragam putih merah layaknya seorang anak Sekolah Dasar, dengan wajah lugunya, rambut yang diikat tak beraturan, dan sepatu yang kebesaran. Berjalan menyusuri koridor sekolahan sambil melihat sekeliling.
“Ahh, andai aku seperti mereka. Yang diantar orangtuanya hingga pintu kelas, disediakan makan untuk jam istirahat, ditunggu hingga pulang. T-ttapi tidak denganku”, ujarku dalam hati.
Disetiap koridor aku selalu tersenyum tipis sambil menahan sesak di dada. Bagaimana tidak? seorang anak usia 7 tahun berjalan sendirian di sekolah sedangkan yang lain diantar orangtuanya, hingga kebingungan mencari kelas. Dan tiba-tiba, seorang wanita paruh baya yang menggandeng anak perempuan datang menegurku.
“Kamu sendirian? namamu siapa nak? Mana orangtuamu?”, tanyanya sambil melihat sekeliling.
“Aku sendiri tante, namaku Yuni, orangtuaku hanya mengantarku sampai gerbang”, jawabku sambil menahan tangis.
“kamu kelas berapa”, tanya tante itu lagi.
“kelas 1 B, tante. Dan aku bingung kelasnya dimana”.
“Mari ikut tante, kebetulan anak tante kelas 1 B juga. Kenalin ini Diva”, ucapnya sambil mengulurkan tangan Diva ke hadapanku.
Ia langsung menggandengku layaknya anak kandungnya. Ia mengantarkan aku dan Diva ke kelas. Akupun kaget sekaligus senang, dan sejak saat itu aku memanggilnya tante Diva.
Jam pelajaran telah berakhir, dan akupun pulang. Melihat keramaian di depan gerbang sekolah, sesekali aku melirik sambil berbisik.
“Adakah yang menjemput aku? ternyata tidak ada”.
Cuaca yang terik dengan langkah kaki yang kecil, aku berjalan sendirian. Menangis di sepanjang perjalanan, menahan letih, panas, dan haus, cukup jauh bukan? jika seorang gadis kecil berjalan sekitar 500 meter. Tapi itu semua harus ku kuatkan, mengeluh tak akan membuat orangtuaku luluh. Tibalah di gerbang rumah, kulepas sepatu kemudian kubuka perlahan pintu. Belum sempat masuk, sudah terdengar suara keributan dari dalam. Iya tentu saja, itu adalah orangtuaku.
“Kenapa pulang-pulang nangis? Masuk kamar dan jangan bikin pusing Ayah”.
“A-akuu pul..”, belum selesai menjawab, ayahku langsung memotong pembicaraan.
“Gak usah banyak bicara, cepat masuk kamar”
Ibuku mendorongku masuk ke kamar hingga aku terjatuh dan menguncinya dari luar.
“Gak usah nangis, nambah beban aja ya kamu”, ucap Ibuku sambil mengunci pintu kamarku.
Isakan tangisku, sesaknya dadaku, hanya aku yang tahu. Suara ribut masih terdengar hingga kamarku, hentakkan meja yang sontak membuatku kaget, takut, dan bingung harus berbuat apa. Cukup menenangkan ya, ketika tidur saat terlalu lelah menangis. Dengan mata sembap dan badan yang gemetar, aku bangun dari tidurku dan beranjak ke pintu.
“Buu, bukain pintunya. Yuni laper bu”, ucapku dari kamar.
Duduk bersender di pintu, dengan badan yang lemas, gemetar, dan masih terisak-isak. Aku cukup lama menunggu untuk dibukakan pintu, hingga akhirnya terdengar “klek klek”, suara dibukanya kunci pintu.
“Ngapain kamu nangis? Jadi anak jangan cengeng, sana makan. Ambil sendiri!!”, dengan nada keras ibuku menyuruhku.
Aku hanya mengangguk, berjalan ke dapur dan mengambil makan. Ahh sudahlah, tubuhku rasanya tidak karuan.
Malam yang sunyi, disaat orangtuaku sedang duduk santai di ruang tv akupun menghampirinya sambil membawa kertas hasil gambarku.
“Ayah, Ibu.. lihatlah gambar ini, ini aku yang membuatnya”
“Berikan ke Ayahmu saja, Ibu tidak ingin melihatnya”, ucapnya sambil asik menonton tv.
“Sudah-sudah kamu masuk saja ke kamar, tidur. Ayah tidak mau diganggu”. Ucapnya dengan nada tinggi.
Menahan kecewa, sedih, sesak, akupun berjalan ke kamar. Salahkah aku yang seorang gadis kecil ingin mendapat perhatian dari orangtuaku sendiri? Salahkah aku jika ingin mendapat kasih sayang dari orangtua sendiri?.
“Trennnggg”, suara tempat pensilku jatuh karena tersenggol siku tanganku.
“Apa itu?”, suara ayah dari depan ruang tv, yang kemudian langsung menghampiriku.
“Kamu ini, bikin ayah pusing saja. Kalau jalan itu lihat yang benar, biar tidak tersenggol barang lain”
“plaakkk” dengan ringannya, ayahku menamparku.
“Aduhh sakiittt ayahhhhh”, ucapku sambil menangis sesegukan.
Ibuku langsung datang menghampiriku, ku kira dia akan melerai ayahku dan melindungiku. Ternyata aku salah, ternyata dia hanya ingin menambah sakitku.
“Kamu ini bikin susah orang saja. Gak usah nangis bisa gak sih? Cengeng banget jadi anak. Sana tidur”, sambil menjambak rambutku hingga terasa perih dikepalaku.
Telah berlalu semua hal yang ku alami di masa Sekolah Dasar (SD). Seiring berjalannya waktu, hingga aku memasuki bangku SMA, aku masih sering mendapatkan perlakuan seperti itu. Sulit rasanya melupakan hal-hal yang menyakitkan, kejadian yang kurasakan. Aku depresi, takut, gelisah, merasa cemas, menjadi pendendam, moodku sering berubah-ubah, rasa ingin menyakiti diri sendiri, bahkan aku sempat melakukan percobaan bunuh diri. Siapa yang sanggup merasakan perlakuan ini sejak dini? Seorang anak perempuan yang tidak pernah mendapat perlakuan baik dari orangtuanya, tidak pernah mendapat kasih sayang, perhatian, dan semangat. Rumah yang seharusnya dijadikan tempat ternyaman saat pulang, tapi nyatanya tidak bagiku.
Ku kira semakin beranjak dewasa, aku akan terbebas dari luka. Tapi nyatanya, aku semakin terbelenggu. Orangtuaku selalu menuntutku untuk melakukan hal yang mereka mau. Aku tidak tahu, apakah ini yang terbaik atau justru membuatku tambah sakit. Singkat cerita pada saat SMA, aku pernah pulang terlambat karena harus menjalankan tugas piket. Sesampainya dirumah, aku langsung dipukuli oleh ayahku. Dan yaa, ibuku hanya melihatku saja, tidak membelaku, tidak membantuku. Padahal aku sudah menjelaskan alasan mengapa aku pulang terlambat.
“Makanya jadi anak itu yang nurut, mau jadi apa kamu haa?”, ucap ibuku, sambil mendorong pundakku.
“Kurang nurut bagaimana lagi aku yah, bu. Sudah cukup aku rasakan sakitnya. Dari Yuni kecil bahkan sampai sekarang kalian tidak pernah memberi Yuni perhatian. Mana kasih sayang orangtua yang harusnya diberikan kepada anaknya? Tidak ada kan? Yuni tidak pernah mendapatkan itu semua, Yuni tidak pernah merasakan itu semua”, dengan air mata yang terurai aku memberanikan diri untuk berbicara lantang. Setidaknya ini kulakukan agar orangtuaku tersadar.
“Kamu sudah mulai berani membantah ya”, ucap ayahku.
“Berani ya kamu, siapa yang ngajarin? Dasar anak tidak tahu terimakasih”, sahut ibuku.
“Siapa yang ngajarin? Kalian selama ini tidak sadar? Apa yang kalian perlihatkan sedari Yuni kecil itu bagaimana? Yuni selalu diperlakukan kasar, ditampar, dipukul, dimarahin. Apa ayah dan ibu pikir Yuni lupa? tidak akan pernah lupa yah, bu. Sampai detik ini Yuni menjadi takut kalau ada suara orang berbicara dengan nada tinggi, Yuni tidak bisa tertidur nyenyak. Tamparan, pukulan yang ayah ibu lakukan ke Yuni, sampai sekarang rasanya masih berbekas di benak Yuni. Yuni pernah melakukan percobaan bunuh diri, apa ayah dan ibu tahu? Tidak kan? Apakah ayah dan ibu tahu bahwa semua ini membuat Yuni menjadi trauma”, ucapku sembari menangis sesegukan.
“Kurang ajar ya kamu, jadi kamu menyalahkan orangtuamu haa? Mau jadi apa kamu nanti, berani ceramahin orangtua sendiri. Sini kamu”, bentakkan ayahku sambil menarikku ke kamar mandi, menyiramku dengan air dan mengunciku sendirian hingga pagi hari tiba.
Menyakitkan bukan? hanya karena pulang terlambat untuk melakukan tugas piket, ketika pulang aku harus mendapatkan perlakuan seperti itu. Baiklah, setelah kejadian itu, ku pikir semua akan berubah. Ku pikir ayah dan ibuku akan tersadar dengan ucapanku saat itu, tapi nyatanya aku salah. Aku masih kerap menerima perlakuan tidak mengenakkan itu. Jika ditanya tentang kesehatan mentalnya, aku adalah orang yang paling tidak sehat mentalnya.
Belakangan itu, pikiranku menjadi tambah kacau dan sulit dikendalikan, aku melukai tanganku sendiri. Menjambak rambutku sendiri, menusuk tanganku dengan jarum, memukul kepalaku sendiri dengan botol beling, bahkan aku sempat minum racun tikus. Tapi esoknya, semua kembali normal. Aku masih bisa melakukan hari-hariku dengan senang, tertawa tebahak-bahak bagaikan tidak ada masalah, antusias dalam berbagai hal, bahkan larut dalam bahagia. Namun semua hanya bertahan sekejap.
Dua tahun berlalu, setelah lulus SMA aku memutuskan untuk bekerja. Karena aku ingin bebas dari jeratan orangtua. Tapi ternyata, orangtua menyuruhku untuk melanjutkan kuliah.
“Yuni mau kerja”, ucapku pada orangtuaku.
“Ayah tidak akan mengizinkan kamu kerja. Kamu harus kuliah. TITIK!”
“Egois ya kalian. Tidak pernah mau mendengarkan keluhan dan kemauan anaknya”, (ggbrakkkk) aku menutup kamar dengan kencang. Tidak diketahui pasti, aku mendengar seperti suara beling dilemparkan ke pintu kamarku hingga belingnya pecah.
Pagi hari sudah ramai orang membawa kertas putih dan berjalan tergesa-gesa. Ya, hari itu adalah hari pendaftaran kuliah. Aku dengan kesalnya mendaftarkan diri ke kampus, dan hampir saja melukai salah satu pendaftar karena dia tidak sengaja menyenggolku. Namun dia langsung meminta maaf, dan yaa. Tanpa sadar aku menamparnya dan langsung pergi meninggalkannya.
“Sekali lagi aku minta maaf”, ujarnya saat aku bergegas pergi.
Sayup-sayup mendengar alunan musik yang ku kenakan dengan airphone. Aku terlelap dalam keheningan di ruang kamarku. Seketika dengan tubuh yang masih terlentang, mata yang sudah terbuka, tanpa disadari kata-kata pun terucap dari bibirku.
“Aku lelah, kenapa dunia tidak pernah berpihak kepadaku”, ucapku sambil mengepal tangan
“Kenapa aku tidak pernah merasakan kebahagiaan? Kenapa hanya rasa sakit yang berpihak kepadaku. KENAPA?KENAPAAAAA?”, lanjutku lagi.
“ARGGHHHHHHHH”, kepalan tanganku membenturkan ke dinding kamar. Akupun menangis tersedu-sedu, dadaku kembali sesak, semua rasa sakit seakan datang di benakku, dan aku kembali melukai tubuhku.
Tak disangka, bercak darah ada di lantaiku. Aku hanya tersenyum dan tertawa puas. Entahlah, semuanya begitu kacau malam itu. Pukul 02.35 WIB, aku masih menangis dan tertawa secara bersamaan. Hingga lelah, aku tertidur di lantai hingga mentari datang.
“Jadi aku semalam tidur di lantai ya. Hahahaha”, ucapku langsung ketika bangun tidur.
Duduk terdiam di lantai sambil memegang dada, aku kembali merasakan sesak dan berderai air mata.
“Aku lelah. Aku ingin bercerita, tapi dengan siapa harus bercerita. Terlalu sakit, terlalu sakit, terlalu sakit untuk ditahan sendirian. Aku tidak sekuat itu, aku sakitttt”, ucapku dengan suara rintih.
“Aku ingin merasakan hangatnya pelukan kasih sayang, aku ingin dipeluk layaknya seseorang mendapatkan kenyamanan, menghilangkan beban. AKU INGINNN. Hahahaha”, ucapku dengan rasa kecewa sambil tertawa.
2 jam berlalu dan akupun masih duduk di lantai sambil memegang dada. Rasa sakit dan sesaknya masih terus berasa. Nafas yang tersendat-sendat, tubuh yang lemas, akupun berjalan ke kamar mandi. Melihat air yang jernih dan dingin, aku menyiramkannya ke tubuhku secara perlahan-lahan. Duduk di lantai kamar mandi, dengan suara isak tangis dan suara air keran yang kubiarkan mengalir, seakan menjadi teman bagi kesedihanku. Sudah cukup menenangkan, akupun beranjak keluar dan mengganti pakaian.
Seduhan coklat hangat yang menambahkan ketenangan, ku seruput dengan penuh kehati-hatian. Aku duduk melamun dengan rasa sakit yang masih terbayang. Dan terpikirkan bahwa aku harus beranjak dari keterpurukan.
“Ahhiyaa, aku harus memberanikan diri untuk pergi ke psikolog. Setidaknya ini akan membantu mengurangi gangguan mentalku. Hahahaha”, ucapku sendiri dengan tawa puas.
Membuka tas. Memasukkan airphone, vitamin, air minum, parfum, dompet, dan tissue. Bersolek di depan cermin untuk menutupi mata yang sembab, aku tersenyum tipis, memegang pipi yang chubby, dan menatap wajah selama beberapa detik. Tangan yang perlahan mengikat tali sepatu, dan yapsss. Aku siap untuk pergi ke psikolog.
Ruang yang sunyi. Aku duduk di bangku depan yang telah disediakan, sembari menunggu jadwal konseling. Ya, sekitar 3 jam aku menunggu. Menghela napas, menyiapkan diri saat dipanggil giliran.
“HUHHH, semoga setelah ini bisa melegakan”, ucapku dengan semangat.
Mengetuk pintu, perlahan membukanya. Aku merasa gugup dan sedikit cemas.
“Silahkan duduk, cantik. Panggil saja saya kakak yaa, biar kita terasa lebih dekat”, ucap seorang psikolog itu.
“terimakasih kak. Hehe”
Selama proses tanya jawab berlangsung, pertanyaan demi pertanyaan telah kulalui. Aku selalu menjawabnya dengan jujur apalagi perihal yang aku rasakan sedari kecil hingga sekarang, kondisi mentalku sekarang, rasanya seperti apa, apa saja yang sudah kulakukan dan sebagainya. Memang cukup lama prosesnya, tapi aku bahagia karena sudah bisa berbagi cerita ke orang yang bisa dipercaya.
“Berdasarkan symptom yang kamu alami, kamu di diagnosis mengidap bipolar 1”
“Apa? Bb-iii-pp, bipolar?”
“Iya Yuni, kamu tidak perlu khawatir. Kamu akan baik-baik saja selama mengikuti arahan dari saya dan psikiater”.
“Tapi kak, saya takut jika orang-orang sekitar tidak menerima saya. Apalagi orangtua saya tidak memperdulikan kondisi saya”, jawabku sambil menangis.
“Semua akan baik-baik saja Yuni, kamu bisa melewati semua ini. Kamu pergi ke psikiater terdekat yaa, nanti kamu akan ditangani disana. Bipolar itu membutuhkan perhatian khusus dalam penanganannya”.
“Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang ini kak?” ucapku sambil menangis
“Kamu perlu datang ke psikiater, tetap semangat dan jangan pernah berpikir buruk tentang dirimu. Semua akan baik-baik saja, Yuni. Jika kamu membutuhkan tempat untuk bercerita, datanglah kemari.” Ucapnya sambil mengelus pundakku
Berjalan keluar dari ruang konseling, aku tertawa karena merasa lega tapi aku juga kecewa karena di diagnosa mengidap bipolar. Seperti yang kita ketahui, bipolar merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan perubahan suasana hati secara ekstrem. Suasana hati yang tinggi biasanya ditandai dengan gembira, senang, dan bahagia secara berlebihan. Begitu juga dengan suasana hati yang buruk, ia bisa merasakan sedih, murung, benci terhadap diri sendiri, tidak ada semangat, bahkan sampai ada perasaan ingin mengakhiri hidupnya.
Pagi hari tiba, suasana hatiku mendadak buruk. Pikiranku merasa tidak tenang, dan aku bergegas mencari benda tajam. Aku mulai menyayat tanganku, tak terasa darah terus mengalir. Namun beruntungnya nyawaku masih terselamatkan. Aku menangis seharian, bahkan menonton film komedi pun tak mampu membuatku tersenyum. Aku terasa tidak berguna.
Seminggu telah berlalu, aku merasa hidupku baik-baik saja. Berkuliah dengan riang, antusias dalam berbagai hal. ARGHHHHHH.. hidupku seakan terlepas dari beban.
Mendengarkan alunan musik dan angin yang sepoi-sepoi, ditemani dengan es coklat. Aku duduk di kursi taman kampus. Melihat orang-orang berlalu lalang, suara angin yang menyejukkan, hijaunya daun dan rumput yang membuatku tenang. Terlintas dalam pikiran, bahwa aku harus pergi ke psikiater. Ya, tiba-tiba pikiranku menuju ke psikiater.
Tak berlama-lama, aku segera menghabisakan es coklatku. Memasukkan buku dan handphone ke tas, dan bergegas menuju psikiater terdekat.
Sepulangnya dari psikiater, aku kembali berhadapan dengan ayahku.
“Darimana kamu? Kerjaannya main terus, bukannya belajar”, ujarnya saat aku memasuki kamar.
Tak keluar sekata pun dari mulutku, aku hanya tersenyum. Entahlah, hari itu terasa melelahkan.
Membuka tas, mengambil obat yang diberikan oleh psikiater. Antikonvulsan, antipsikotik, dan SSRI adalah jenis obat yang harus ku konsumsi setiap harinya. Entahlah, katanya itu untuk mengatasi terjadinya masa depresifku.
Menghela napas panjang. Ingin sekali memiliki sahabat yang bisa diajak bertukar cerita. Tapi kurasa tidak mungkin, aku sedari dulu adalah orang yang pendiam dan entah kenapa sekarang emosian.
“Mana mungkin ada yang mau bersahabat denganku”, ucapku tiba-tiba.
“Andai aku bisa merasakan belaian orangtua, kasih sayangnya, suara lembutnya. Aku merindukan sosok orangtua, aku ingin kasih sayangnya, aku lelah, aku tidak sekuat itu”, ucapku dalam hati.
Di kamar yang sunyi, sepi, aku mengambil sebuah pena. Kutuliskan perlahan-lahan di buku dairyku. Tak sadar, sudah 3 lembar aku menuliskannya. Aku bercerita, mencurahkan semua yang aku rasakan, dan aku tuangkan di buku itu. Cukup mengasikkan.
Disaat itulah, aku menemukan tempat untuk bercerita. Iya!! Dia adalah buku dairyku. Keseharianku, keluh kesahku, rasa sakitku, bahagiaku. Semua kutulis di buku itu. Hingga akhirnya, menulis adalah menjadi hobiku. Entahlah, ketika menulis aku bisa melampiaskan emosiku, aku bisa mengeskpresikan diriku melalui tulisan-tulisan yang ku buat.
Tetesan air mata tiba-tiba membasahi pipi, tangan, dan lembar kertas pada buku dairyku pada saat itu. Dadaku kembali sesak, seketika kejadian yang tidak mengenakkan itu datang dibenakku. Aku begitu takut, terlalu sakit untukku, terlalu sulit bagiku untuk melupakan. Sejak usia dini aku harus mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan. Hingga di usiaku yang ke 21 tahun ini, semuanya benar-benar masih membekas.
Sudah ku ikhlaskan. Ku harap orangtuaku tersadar sebelum tau arti kehilangan.