MERDEKA...!

MERDEKA...!

MERDEKA...!

Oleh: Ainul Alim

(Dosen Prodi Teknik Kimia FST UNIMUDA Sorong)

            Penjajahan adalah sebuah keadaan ketika suatu bangsa tidak memiliki kedaulatan atas diri dan/atau hak miliknya.  Dia tidak berdaulat mutlak untuk mengatur dirinya sendiri.  Pikiran-pikiran dan keyakinannya ditentukan atau mengikuti penjajahnya.  Otomatis aturan yang diberlakukan atas dirinya, sebagian atau seluruhnya, dipaksakan oleh penjajahnya.  Demikian juga siapa yang memerintah mereka; dengan siapa mereka harus berkawan atau bermusuhan; bagaimana mereka mendidik anak-anaknya; bahkan apa saja jenis makanan, pakaian, olahraga, hiburan, kesenian hingga mitos-mitos yang mereka percaya.

            Tingkat keterjajahan negeri-negeri di dunia bervariasi, bergantung pada seberapa kuat peradaban sang penjajah, dan seberapa tinggi peradaban bangsa negeri itu sebelum penjajah datang.  Dari sejak zaman Romawi dan Persia kuno, penjajahan dapat dikatakan selalu menghabisi jatidiri suatu bangsa. Bangsa Mesir semula memiliki peradaban yang panjang di berbagai dinasti Firaun. Setelah dijajah oleh Romawi, peradaban Mesir kuno itu pun punah.  Yang tertinggal hanya piramid.  Bahkan tulisan Mesir kuno (hieroglif) pun nyaris dilupakan.  Andaikata tidak ditemukan adanya batu Rosetta yang berisi sebuah naskah bilingual (Mesir kuno dan Latin), niscaya tulisan Mesir kuno itu untuk selamanya tidak dapat dipahami lagi maknanya.

            Penjajahan bisa bermula dari persaingan antarbangsa untuk berebut pengaruh. Bangsa yang memiliki kepemimpinan, organisasi dan teknologi yang lebih baik akan cenderung lebih unggul.  Sebaliknya, bangsa yang memiliki kepemimpinan yang lemah, atau bahkan elitnya penuh dengan para koruptor dan pengkhianat, akan cenderung dikalahkan.  Inilah sunnatullah sejarah penjajahan bangsa-bangsa di dunia, hingga saat ini.

            Umat Islam sebenarnya memiliki sejarah yang unik.  Peradaban dan negara yang ditinggalkan Rasulullah saw. sejatinya adalah peradaban dan negara yang sangat kuat, yang kebal terhadap penjajahan.  Bahkan saat tentara Tartar (Mongol) memasuki kota Baghdad pada tahun 1258 M, yang muncul karena pengkhianatan beberapa pembesar Abbasiyah, hanya tiga tahun penguasa Mongol dapat bertahan.  Setelah itu justru mereka yang masuk Islam dan kemudian pada masa selanjutnya ikut menyebarkan Islam.  Tentara Salib yang merebut Jerusalem pada 1096 M pun mengalami era sejenis. Di wilayah Palestina yang mereka kuasai, tentara Salib itu justru mempelajari peradaban Islam, yang kelak kemudian mereka bawa untuk membangkitkan Eropa dari era kegelapan.  Barat belajar, bahwa mereka tidak mungkin menjajah kaum Muslim selama kaum Muslim masih memegah teguh ajaran Islamnya secara kaffah serta ada negara yang mempersatukan dan melindungi mereka. Karena itulah, akhirnya Barat memutuskan, bahwa satu-satunya cara untuk mengalahkan kaum Muslim adalah dengan mencabut atau setidaknya mengotori ajaran Islam, dan kemudian meruntuhkan negaranya.

            Barat baru mulai berhasil sedikit demi sedikit menjajah negeri-negeri Islam, setelah Daulah Khilafah Utsmaniyah mulai surut pada akhir abad-17, setelah jihad mulai redup.  Redupnya jihad telah memperlambat perkembangan teknologi di Dunia Islam. Akibatnya, beberapa dekade kemudian teknologi dunia Barat sudah mengungguli Dunia Islam.  Dengan bekal teknologi itu, Barat yaitu Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, Prancis, Italia dan Jerman kemudian dapat menawarkan bantuan ke pihak-pihak yang berselisih di Dunia Islam.  Tentu saja tidak ada makan siang gratis: bantuan itu harus dibayar dengan hak-hak istimewa yang diberikan penguasa setempat kepada penjajah.  Hak-hak ini mulai dari konsesi perkebunan, pertambangan, monopoli perdagangan hingga memungut pajak. Dengan mempertajam perbedaan antarsuku, golongan atau mazhab, Barat menanam racun ‘ashabiyah ke negeri-negeri Islam.  Politik divide et impera pun berjalan dengan mulus. Barat tidak perlu menggunakan sendiri tentaranya dari Eropa. Mereka bahkan mampu menggerakkan tentara Muslim untuk menghajar tentara Muslim yang lain, dari kesultanan yang berbeda.

            Ketika akhirnya dunia Barat nyaris hancur-lebur karena pertentangan mereka sendiri dalam berebut tanah jajahan dalam Perang Dunia I dan II, muncullah perkembangan baru.  Di satu sisi, di tanah jajahan memang muncul berbagai kesadaran baru. Bila sebelumnya pemberontakan melawan penjajah bersifat lebih sporadis dan lokal, ternyata kemudian ada komunikasi yang lebih luas antara para pejuang yang lebih luas, lebih sistematis dan mengambil bentuk politis; tidak melulu dengan kekerasan. Perjuangan ini jauh lebih sulit diatasi, karena juga mampu mengambil hati para elit di negeri asal penjajah itu sendiri.  Oleh sebab itu, maka para penjajah itu berpikir, bagaimana agar bisa terus mengeruk keuntungan penjajahan itu, tanpa terlalu banyak mengotori tangan mereka sendiri.

            Oleh karena itu, begitu penjajahan militer atau politis sudah semakin tersudut, apalagi ada pemain global yang baru yaitu Amerika Serikat yang nyaris tidak tersentuh oleh dua perang dunia, dan Uni Soviet yang membawa ideologi baru yaitu komunisme, secepatnya para penjajah Barat itu mengganti strategi penjajahannya. Mereka melepas dominasi politik dan militer, tetapi mempertahankan status quo di bidang ekonomi, terutama yang menyangkut sektor keuangan (perbankan) dan konsesi sumberdaya alam (migas, minerba), bidang hukum dan perundang-undangan, dan bidang pendidikan terutama yang terkait kurikulum.  Kader-kader mereka dari kalangan pribumi Muslim banyak ditinggalkan di situ.

            Walhasil, sebuah negeri Muslim yang secara formal merdeka, bahkan kemerdekaannya itu telah dipertahankan dengan darah, tetapi regulasi yang ada di bidang ekonomi, hukum dan pendidikan masih nyaris sama dengan pada masa penjajahan.  Bank ribawi dan pabrik miras masih berjalan, sumberdaya alam seperti migas atau minerba, juga perkebunan besar masih dikonsesikan ke pemodal besar, dan itu terutama dari negeri asal penjajah dulu.  Demikian juga konstruksi sistem hukum dan sistem pendidikan masih kurang lebih sama.

            Meski kemerdekaan Indonesia diproklamir-kan tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya yang lebih penting adalah bahwa bangsa Indonesia itu berhasil mempertahankan apa yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu.  Perlu dicatat, bahwa selama hampir lima tahun pertama usia Republik Indonesia, pemerintah berjalan secara darurat.  Pajak belum bisa ditarik. Aparat pemerintahan masih amburadul. Berbagai kesatuan bersenjata (laskar) masih berkeliaran. Semua ini juga belum bisa dibayar!  Kerajaan Belanda yang semua tidak rela jajahannya lepas, datang kembali untuk memaksa agar mereka berkuasa kembali. Ketika upaya ini tidak juga berhasil, mereka menawarkan berbagai perjanjian (Linggarjati, Renville, Roem- Roijen).  Perjanjian ini bermuara di Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari 23 Agustus hingga 2 November 1949, yang secara resmi mengakui kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949.

            Namun, yang sering luput adalah bahwa KMB ini justru secara resmi mulai membonsai kemerdekaan yang diraih Indonesia. Di antara isi KMB ini adalah bahwa Indonesia menerima perusahaan-perusahaan asing dan menang-gung hutang Pemerintah Hindia Belanda, yang nilainya mencapai 4.3 miliar Gulden (senilai dengan uang sekarang Rp 231 triliun).  Indonesia juga mesti mengubah konstitusinya sehingga bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS ini kemudian membentuk union (Uni Indonesia-Belanda) dengan Ratu Belanda sebagai pemimpinnya. Belanda juga hanya mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah setelah pengakuan kedaulatan tertanggal 27 Desember 1949. Baru pada tahun 2005 Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Mungkin itu karena setelah setengah abad, Belanda melihat bahwa Indonesia nyaris sudah tidak bisa            diharapkan lagi.

Faktanya, penjajahan Indonesia saat ini sudah beralih tuan dari Belanda ke Amerika dan cina, juga sudah jauh lebih modern bentuknya.  Sejak munculnya Orde Baru, penjajahan Amerika tampak dalam penguasaan berbagai jenis tambang seperti migas (Chevron), emas (Freeport) dan sebagainya. Pemerintah Indonesia tampak tidak terlalu berkutik melawan perusahaan raksasa Amerika itu.  Bahkan di area Freeport, kota Tembagapura dan Kuala Kencana adalah kecamatan yang sepenuhnya dikontrol oleh PT Freeport Indonesia.

            Ratusan BUMN juga dihinggapi oleh persoalan teknologi, SDM dan permodalan.  Teknologi mereka masih ketinggalan zaman dan sangat bergantung pada pihak asing.  Personel tertentu juga masih selalu harus dididik di Luar Negeri. Struktur pemodalannya pun cekak sehingga akhirnya tidak sanggup mengelola area konsesinya. Walhasil, Pemerintah akhirnya mengundang konglomerat asing untuk mencoba. Jadilah sumberdaya alam kita dikuasai asing.

Lantas Apakah kita sudah merdeka??

            Sulit untuk menjawab secara hitam putih, ya atau tidak. Untuk itu kita buatkan level untuk mengetahuinya supaya kita sadar dan bangkit keperjuangan hakiki kita untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesame manusia ke samata-mata kepada Allah ta’ala.

            Kita ini baru merdeka penuh di level-1, yakni merdeka fisik. Tidak ada lagi pasukan tentara asing yang petentang-petenteng di negeri ini. Kalau ada tentara asing, pasti sedang dalam misi penanggulangan bencana seperti saat tsunami Aceh 2004 atau mereka yang sedang ikut latihan bersama UN-Stand By Force (SBF) di Sentul, Bogor. Di dunia, negara yang saat ini jelas tidak merdeka di level-1 adalah Afghanistan, Irak, atau Palestina.

            Level-2 merdeka, itu merdeka memilih pemerintah. Secara normatif, pada level-2 ini kita lebih merdeka dari Australia atau Kanada. Siapa yang jadi kepala negara di sana, ditunjuk oleh Ratu Inggris. Australia atau Kanada boleh saja bikin pemilu untuk mendapat Perdana Menteri baru. Tetapi yang melantiknya adalah gubernur jenderal yang ditunjuk oleh Ratu Inggris. Gubernur jenderal itu pula yang akan mengesahkan UU, mengangkat panglima angkatan bersenjata, atau mengangkat dan memberhentikan para hakim. Akan tetapi pada level-2 ini kita belum 100 persen merdeka. Meski rakyat Indonesia memilih sendiri presidennya, siapa calon presiden atau menteri yang akan terpilih dipengaruhi oleh asing dalam bentuk "opini" ataupun "penerimaan pasar".

            Level-3 merdeka, itu merdeka menentukan hukum. Di sini derajat kemerdekaan kita lebih berkurang lagi. Betul undang-undang kita diketok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pilihan kita sendiri. Akan tetapi, di antara draf yang masuk, ada sekian banyak draf yang dibuatkan oleh lembaga-lembaga asing, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP), atau Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional (USAID). Mungkin undang-undang yang kurang "seksi" seperti UU Informasi Geospasial atau UU Narkotika tidak banyak diintervensi asing. Namun, UU Migas, UU Listrik, UU Penanaman Modal, dan berbagai UU "basah" yang lain dipastikan ada peran asing di dalamnya.

            Kalau sebuah negara Level-1, 2, 3 ini sudah 100 persen, negara ini baru bisa disebut merdeka secara fisik. Negara itu baru negara yang "profesional". Dia merdeka, tetapi boleh jadi masih miskin dan rakyatnya masih sengsara. Salah satu contoh negara seperti itu boleh jadi adalah Korea Utara.

            Level-4 merdeka, itu merdeka secara teknologi. Bangsa itu mampu menciptakan teknologi yang mereka butuhkan. Derajat merdeka kita di level-4 ini sangat rendah, tetapi mungkin masih lebih baik dari negara seperti Arab Saudi atau Brunei Darussalam yang teknologi apa pun diimpor. Kita alhamdulillah masih punyalah berbagai kampus teknologi yang top-600 dunia, masih punya beberapa industri teknologi yang membanggakan. Akan tetapi tetap harus kita akui, secara teknologi, kita saat ini masih terjajah. Kita masih sangat bergantung kepada asing, dan akibatnya asing masih mudah mempermainkan negeri kita dengan sarana teknologi yang mereka buat.

            Level-5 merdeka, itu merdeka secara ekonomi. Teknologi canggih rupanya tunduk juga pada tata ekonomi dunia. Di bidang ekonomi ini, kita sangat terjajah. Akibatnya, isu melemahnya rupiah terhadap dolar AS jadi sangat sensitif. Proyek-proyek Habibie di akhir tahun 1990-an, berantakan karena krisis moneter. Sistem ekonomi kita sangat rentan karena mudah terpengaruh gonjang-ganjing dunia, baik disengaja maupun tidak. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) kekurangan gas karena gas kita telanjur dibeli dengan kontrak jangka panjang oleh Cina. Produk agro kita yang melimpah tidak punya nilai tawar yang tinggi di dunia. Negara yang merdekanya sudah sampai level-4 dan 5, dapat dipastikan negara yang "produktif". Mereka berada di jajaran negara maju dan kaya. Contoh negara seperti ini adalah Korea Selatan, Jepang, atau Jerman. Cina dan India mungkin segera menyusul di level ini.

            Level-6 merdeka, itu merdeka secara ideologis. Ideologi itu mendorong sebuah negara menentukan sendiri jalan hidupnya, peradabannya, sosial-budayanya, juga mendorong mereka memengaruhi negara-negara lain. Negara yang seperti ini akan berkembang menjadi negara yang "powerful". Contohnya saat ini jelas Amerika Serikat. Di masa lalu juga Uni Soviet, Inggris, dan Prancis.

            Yang tertinggi adalah merdeka level-7. Merdeka level-7 itu adalah ketika sebuah negara beserta rakyatnya hanya menghamba kepada Sang Pencipta (Allah SWT) saja, dan tidak menghamba ke sesama hamba, manusia, baik seorang diktator maupun secara demokratis. Negara yang seperti ini akan berkembang dengan cepat menjadi negara yang profesional, produktif, dan powerful.

            Jadi, kalau dinilai dengan levelling ini, kita baru merdeka di level-1, dan mungkin sedang terengah-engah mencoba meraih merdeka di level-level berikutnya. Semoga kita istiqamah dalam meraih cita-cita kemerdekaan yang hakiki, merdeka level-7. Aamiin.

 

 

Artikel Populer