SOLUSI KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI DI KAMPUNG WONOSARI, KABUPATEN SORONG
SOLUSI KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI DI KAMPUNG WONOSARI, KABUPATEN SORONG
Yusup Sopian (Dosen Prodi Peternakan UNIMUDA Sorong)
Kampung Wonosari terletak di distrik Klamono, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Secara topografi kampung Wonosari berupa dataran rendah dan berawa. Letak kampung yang tidak jauh dari sungai Beraur (Sungai terpanjang ketiga di Kabupaten Sorong) menjadikan sebagian wilayahnya cocok untuk tanaman pangan dan hortikultura. Namun, kondisi ini juga menyebakan rentannya terjadi banjir di pemukiman daerah rawa. Di kampung Wonosari, saat ini terdapat 71 kepala keluarga dengan mata pencarian utama mayoritas penduduknya sebagai petani, buruh harian, dan sopir angkot. Minimnya kepemilikan lahan setiap keluarga menjadikan penghasilan dari sektor pertanian masih dirasakan kurang oleh masyarakat. Hasil bertani umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sisanya dijual di sekitar kampung untuk warga sekitar. Diluar pekerjaan utama, mayoritas warga memiliki ternak berupa ayam kampung dan sapi sebagai usaha sampingan, mayoritas dijadikan sebagai tabungan untuk dijual ketika dibutuhkan.
Saat ini, sebagian kepala keluarga di Wonosari memiliki sapi antara 1-2 ekor dengan sistem pemeliharaan secara ekstensif atau diumbar. Kondisi ini dikeluhkan oleh warga lain yang memiliki kebun karena tidak jarang sapi peliharaan warga yang tidak diikat pemiliknya merusak dan memakan hasil kebun warga. Pemerintah Kabupaten Sorong telah berupaya untuk melakukan penertiban ternak dengan mengeluarkan Perda Nomor 6 Tahun 2017 tentang pemeliharaan dan penertiban ternak dalam wilayah Kabupaten Sorong. Pada pasal 2 dijelaskan bahwa setiap orang atau badan diwajibkan memelihara ternak dengan baik serta mengamankannya dalam kandang dan/atau diikat sehingga tidak lepas atau berkeliaran. Namun, warga merasa kesulitan untuk mendapatkan pakan hijauan bagi ternak jika dikandangkan dan belum melihat pentingnya mengandangkan ternak bagi warga. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah kepemilikan ternak warga maka banyak nilai ekonomis yang dapat diperoleh dengan program intensifikasi sapi bali sehingga dapat meningkatkan pendapatan warga baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun permasalahan pakan dapat diatasi dengan adanya potensi lahan milik kampung yang belum dimanfaatkan dan limbah pohon pisang yang melimpah di Kampung Wonosari.
Warga Kampung Wonosari sebagai mitra kegiatan menyadari jika ladang penggembalaan ternak saat ini sering kali tergenang banjir dikarenakan termasuk daerah berawa. Jika kondisi ini terjadi, warga harus mencari lahan lain untuk ternaknya yang cukup jauh dari kampung. Model pemeliharaan seperti ini juga berpengaruh terhadap produktifitas ternak. Tidak jarang sapi diikat di lapangan dengan rumput yang terbatas tanpa disediakan wadah air minum. Ternak yang digembalakan sepanjang hari di padang penggembalaan tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan ternak baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, kondisi cuaca yang sering hujan juga berpengaruh bagi kesehatan ternak yang dipelihara tanpa kandang. Pada tahun 2018, jumlah hari hujan yang terjadi sebanyak 250 hari dengan curah hujan sebesar 209 mm3 setiap bulannya (BPS Kabupaten Sorong 2019). Akibatnya pertambahan bobot badan harian (pbbh) yang dicapai masih sangat rendah dibandingkan potensi yang dimiliki. Sapi Bali yang hanya merumput seharian di padang pengembalan memiliki pbbh 0.148 kg/ekor/hari (Rauf 2016) sedangkan Sapi Bali yang diberi pakan rumput gajah mampu memperoleh pbbh sebesar 0.83 kg/ekor/hari (Alimuddin 2018).
Untuk mengatasi tantangan di atas maka Iptek yang dapat diterapkan masyarakat berupa dengan cara introduksi rumput berkualitas dan pengolahan pakan dengan cara silase rumput gajah serta fermentasi batang pisang. Pengolahan pakan yang dilakukan memanfaatkan limbah batang pisang yang belum dimanfaatkan sebelumnya. Nilai tambah dari pengolahan silase ini dapat mengatasi masalah minimnya pakan khususnya di musim kemarau dan kurangnya lahan penggembalaan. Selain itu, kondisi kampung yang berawa juga menjadi salah satu faktor terbatasnya sumber pakan. Introduksi sistem pemeliharan secara intensif dengan penyediaan kandang juga dapat mengatasi masalah keluhan warga lain yang terganggu dengan sapi-sapi yang berkeliaran. Sejalan dengan pembuatan kandang percontohan, nilai tambah lain yang diterapkan berupa penerapan teknologi pengolahan limbah kotoran ternak menjadi biogas. Hasil samping berupa pupuk organik juga dimanfaakan sebagai penyubur tanaman hortikultura yang ditanam di pekarangan sebagai bahan pangan keluarga. Pada akhirnya, sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan menerapkan konsep zero waste farming dengan memanfaatkan semua produk hasil ternak untuk kepentingan warga Kampung Wonosari.